PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
PETANI Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya.
Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya,
berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan hubungan sosial,
pengakuan, dan pengembangan pengakuan.
Manfaat utama lembaga
adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan
sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya
menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis,
2003).
Prinsip-prinsip yang
harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan berkelanjutan
adalah:
1. Prinsip otonomi
(spesifik lokal). / Pengertian prinsip otonomi disini dapat dibagi kedalam dua
bentuk yaitu :
a. Otonomi individu. Pada
tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah mengacu pada individu sebagai
perwujudan dari hasrat untuk bebas yang melekat pada diri manusia sebagai salah
satu anugerah paling berharga dari sang pencipta (Basri, 2005). Kebebasan
inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara
optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas
yuang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti, 2007).
b. Otonomi desa (spesifik
lokal). Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi desa
itu sendiri (spesifik lokal). Pedesaan di Indonesia, disamping bervariasi dalam
kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah
yang cukup panjang dan beragam pula. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan
perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang
bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai subjek dalam pembangunan
yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Disamping
itu, harus juga memperhatikann elemen-elemen tatanan Yang hidup di desa, baik
yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai,
kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras (hard
element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan identitas dinamis
yang senantias menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang (Syahyuti, 2007).
2. Prinsip pemberdayaan.
Pemberdayaan mengupayakan bagaiamana individu, kelompok, atau komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk
masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah
tercapainya kemandirian (Payne, 1997). Pemberdayaan berarti mempersiapkan
masyarakat desa untuk untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai
hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik
dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri (Taylor dan Mckenzie, 1992).
Pada proses pemberdayaan,
ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana, dkk, 2003) yaitu :
a. Menciptakan ruang atau
peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut
cara yang dipilihnya sendiri.
b. Mengupayakan agar
masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang
tercipta tersebut. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi
berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan
pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan
bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
Pemberdayaan dan
pengembangan kelembagaan di pedesaan , meliputi :
a. Pola pengembangan
pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan, perluasan kesempatan kerja
dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan.
b. Perbaikan dan
penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi, kesehatan, dan
lain-lain).
c. Program memperkuat
prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.
Untuk keberhasilannya
diperlukan kerjasama antara : administrasi lokal, pemerintah lokal,
kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha,
pelayanan dan bisnis swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan
ke dalam pasar baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992).
Pemberdayaan kelembagaan
menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan (Elizabeth, 2007a):
a. Kelembagaan lokal
tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas (voluntary sector).
b. Kelembagaan pasar
(private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.
c. Kelembagaan sistem
politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).
Ketiga pilar yang
menopang kehidupan dan kelembagaan masyarakat di pedesaan tersebut perlu
mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu
mengalami perkembangan.
Inilah yang dimaksud
dengan tranformasi kelembagaan sebagai upaya pemberdayaannya, yang dilakukan
tidak hanya secara internal, namun juga tata hubungan dari keseluruhan
kelembagaan tersebut.
Disisi lain, pemberdayaan
kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan agar berorientasi pada:
a)
Pengusahaan komoditas (pangan/non pangan) yang paling
menguntungkan,
b)
Skala usaha ekonomis dan teknologi padat karya,
c)
Win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial,
d)
Tercipta interdependensi hulu-hilir,
e)
Modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi, petani),
f)
Koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi
bisnis,
g)
Memanfaatkan peluang di setiap subsistem agribisnis, serta
h)
Dukungan SDM yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif,
komunikatif, dan partisipatif (inovatif) (Elizabeth, 2007b).
Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk
pemberdayaan adalah : adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan
partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal (Saptana, dkk,
2003).
3. Prinsip kemandirian
lokal. Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal
mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan
secara desentralisasi. Upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan
desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai
keragaman (diversity) yang dikandungnya (Amien, 2005).
Kegagalan pengembangan
kelembagaan petani selama ini salah satunya akibat mengabaikan kelembagaan
lokal yang hidup di pedesaan, karena dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang
memadai. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas
ekonomi melekat pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi
merupakan tanggungjawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama
kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan, namun banyak fungsi. Beda
halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak
kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit (Saptana, dkk,
2003).
Kemandirian lokal
menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses
adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya
mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis.
Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan
lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian
yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).